FILSAFAT WAYANG
Tradisi
timur khususnya jawa berfikir menggunakan seluruh kemampuan rasa, cipta, karsa
bahkan dengan intuisi atau kemampuan kontemplatif. Maka, sangatlah tepat kalau
dikatakan bahwa pengetahuan tentang hidup bagi budaya jawa tidaklah dicapai
dengan “keramaian” akal –pikir, tetapi dengan “keheningan” cipta-rasa-karsa
dalam meditasi. Filsafat wayang bukan semata mata mencari keafiran saja,
melainkan juga mencari “kesempurnaan”. Sementara itu, untuk mencapai kasempurnan
dalam budaya pikir Jawa, khususnya dalam wayang, dikenal melalui tahap tahap
kesadaran: kesadaran indrawi, kesadaran hening, kesadaran pribadi, dan
kesadaran ilahi (manunggal Aku-pribadi-Sukma Kawekas). Tingkat tingkat
kesadaran itu misalnya dalam pergelaran semalam suntuk disimbolkan dalam
perubahan (nem, sanga, dan manyura).
Secara
historis, wayang dan pewayangan pada dasarnya merupakan bagian kebudayaan Jawa
walaupun reepertoire-nya bersumber pada epos India Hindu, Ramayana, dan
Mahabarata. Namun, bentuk wayang di Jawa dikerjakan berdasarkan siakap
kebudayaan Jawa. Bahkan, karena begitu besarnya pengaruh wayang atas kehidupan
orang Jawa, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa wayang merupakan identitas
utama manusia Jawa.
Wayang
itu tidak lain dan tidak bukan merupakan suatu simbol dari hidup manusia
ataupun kehidupan itu sendiri. Wayang bahkan dapat dikatakan sebagai
ensiklopedi tetang hidup yang dapat diungkapkan secara ontologis-metafisik.
Wayang juga melambangkan keberadaan atau cara beradanya manusia yang dalam
pertunjukan dimulai dari pendhapa suwung atau kosong dan diakhiri atau
kembali menjadi pendhapa suwung lagi.
Wayang
juga dikatakan sebagai literatur mengenai filsafat Jawa yang sebenarnya tidak
mempunyai bentuk tersendiri, tetapi merupakan bagian bagian tempat yang masing
masing bagian merupakan ide dari cara hidup. Sebagai filsafat, wayang adalah
simbol ajaran ssangkan paran dan perbuatan, yaitu sikap atau cara
manusia beramal dan berjalan menuju kepada Penciptanya. Pertunjukkan atau
pergelaran wayang semalam suntuk merupakan suatu lambang atau simbol renungan
transendental atau eksistensi ataupun dumadi. Didalam istilah paguron,
atau dari mana dan ke mana manusia hidup. Jadi, boleh disimpulkan bahwa wayang
sebagai pertunjukan merupakan ungkapan dan peragaan pengalaman religius yang
merangkum bermancam unsur lambang.
Filsafat
Jawa berbicara tentang hal-hal yang sederhana, namun sangat mendasar dan
mendalam. Orang Jawa tidak mau pusing-pusing memikirkan apakah bumi berbentuk
bulat ataukah lonjong, tapi yang penting adalah bagaimana manusia menjaga
keselarasan (harmoni) dengan alam semesta, dan terlebih lagi dengan sesamanya:
‘uripku aja nganti duwe mungsuh’.
Filsafat
Jawa mengajarkan kehidupan yang sederhana, dan menginsyafi bahwa harta benda
tidaklah memberikan kebahagiaan yang hakiki: ’sugih durung karuan seneng, ora
duwe durung karuan susah’. Meski demikian manusia harus bekerja: ‘urip kudu
nyambut gawe’, dan mengetahui kedudukannya di dalam tatanan masyarakat.
Manusia
Jawa percaya bahwa setiap orang memiliki tempatnya
sendiri-sendiri: ‘pipi padha pipi, bokong padha bokong’. Kebijaksanaan kuno ini
bahkan selaras dengan ilmu manajemen modern yang mengajarkan bahwa setiap
individu harus memilih profesi yang cocok dengan karakternya. Setelah menemukan
bidang profesi yang cocok, hendaknya kita fokus pada bidang tersebut, sebab jika
kita tidak fokus akhirnya tak satupun pekerjaan yang terselesaikan: ‘Urip iku
pindha wong njajan. Kabeh ora bisa dipangan. Miliha sing bisa kepangan.’
Telah
ditetapkan bahwa dalam filsafat wayang, pergelaran wayang dianggap sebagai
“simbol kehidupan” (wejangane ngaurip). Hidup sebagai prinsip pertama
filsafat wayang dengan jelas disimbolkan dengan kayon (gunungan berdiri
ditengah) sebelum pagelaran wayang dimulai dan sesudah lakon wayang
selesai dipentaskan. Oleh karena itu, “hidup” dapa dikatakan sebagai prinsip
pertama dalam ontologi wayang.
Dalam
simbol tidak hanya berdimensi horizontal imanen, tetapi juga berdimensi transender
vertikal. Simbol menantang untuk berfikir dan untuk berfikir dibutuhkan bahasa.
Bahasa simbol hanya dapat ditangkap maknanya melalui interpretasi.
Kehidupan
bersifat spiritual atau rohani yang pangkal pada pengalaman manusia yang
menghayati sesuatu yang sedang berkembang dalam waktu. Dalam filsafat wayang,
tampaknya cenderung pada pemikiran yang tercermin dalam kehidupan rohani yang
menjadi dasar dan memberi isi budaya. Filsafat wayang tidak menanyakan apakah
manusia itu. Namun, eksistensi manusia pertama tama diansumsikan sebagai
“kenyataan hidup”. Dan dari kenyataan ini kemudian diajukan pertanyaan: dari
mana asalnya? Kemana akhirnya? Disini kita melihat gerak dan keterlibatan
manusia itu sendiri. Dari sinilah
kemudian dikenal konsep konsep yang sangat terkenal tentang sangkan paraning
dumadi- sangkan paraning manungso.
Pandangna
filsafat wayang antara lain dapat dirumuskan bahwa realitas yang sungguh
sungguh nyata (kasunyatan) berada dalam kesatuannya dengan Yang-Mutlak.
Entah itu tata alam raya ataupun manusia. Kesatuan itu masih sementara didunia
(miyos) tetapi permanen diakhirat: jumbuning atau paroning atau
manunggaling kawula-Gusti. Alam semesta merupakan pengejawantahan Tuhan.
Manusia dan alam semesta merupakan satu kesatuan, kesatuan makrokosmos dan
mikrokosmos (jagat gedhe-jagad cilik).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar