Jumat, 12 Desember 2014

Panji Jawi

FILSAFAT WAYANG


Tradisi timur khususnya jawa berfikir menggunakan seluruh kemampuan rasa, cipta, karsa bahkan dengan intuisi atau kemampuan kontemplatif. Maka, sangatlah tepat kalau dikatakan bahwa pengetahuan tentang hidup bagi budaya jawa tidaklah dicapai dengan “keramaian” akal –pikir, tetapi dengan “keheningan” cipta-rasa-karsa dalam meditasi. Filsafat wayang bukan semata mata mencari keafiran saja, melainkan juga mencari “kesempurnaan”. Sementara itu, untuk mencapai kasempurnan dalam budaya pikir Jawa, khususnya dalam wayang, dikenal melalui tahap tahap kesadaran: kesadaran indrawi, kesadaran hening, kesadaran pribadi, dan kesadaran ilahi (manunggal Aku-pribadi-Sukma Kawekas). Tingkat tingkat kesadaran itu misalnya dalam pergelaran semalam suntuk disimbolkan dalam perubahan  (nem, sanga, dan manyura).

Secara historis, wayang dan pewayangan pada dasarnya merupakan bagian kebudayaan Jawa walaupun reepertoire-nya bersumber pada epos India Hindu, Ramayana, dan Mahabarata. Namun, bentuk wayang di Jawa dikerjakan berdasarkan siakap kebudayaan Jawa. Bahkan, karena begitu besarnya pengaruh wayang atas kehidupan orang Jawa, tidak berlebihan bila dikatakan bahwa wayang merupakan identitas utama manusia Jawa.

Wayang itu tidak lain dan tidak bukan merupakan suatu simbol dari hidup manusia ataupun kehidupan itu sendiri. Wayang bahkan dapat dikatakan sebagai ensiklopedi tetang hidup yang dapat diungkapkan secara ontologis-metafisik. Wayang juga melambangkan keberadaan atau cara beradanya manusia yang dalam pertunjukan dimulai dari pendhapa suwung atau kosong dan diakhiri atau kembali menjadi pendhapa suwung lagi.

Wayang juga dikatakan sebagai literatur mengenai filsafat Jawa yang sebenarnya tidak mempunyai bentuk tersendiri, tetapi merupakan bagian bagian tempat yang masing masing bagian merupakan ide dari cara hidup. Sebagai filsafat, wayang adalah simbol ajaran ssangkan paran dan perbuatan, yaitu sikap atau cara manusia beramal dan berjalan menuju kepada Penciptanya. Pertunjukkan atau pergelaran wayang semalam suntuk merupakan suatu lambang atau simbol renungan transendental atau eksistensi ataupun dumadi. Didalam istilah paguron, atau dari mana dan ke mana manusia hidup. Jadi, boleh disimpulkan bahwa wayang sebagai pertunjukan merupakan ungkapan dan peragaan pengalaman religius yang merangkum bermancam unsur lambang.

Filsafat Jawa berbicara tentang hal-hal yang sederhana, namun sangat mendasar dan mendalam. Orang Jawa tidak mau pusing-pusing memikirkan apakah bumi berbentuk bulat ataukah lonjong, tapi yang penting adalah bagaimana manusia menjaga keselarasan (harmoni) dengan alam semesta, dan terlebih lagi dengan sesamanya: ‘uripku aja nganti duwe mungsuh’.

Filsafat Jawa mengajarkan kehidupan yang sederhana, dan menginsyafi bahwa harta benda tidaklah memberikan kebahagiaan yang hakiki: ’sugih durung karuan seneng, ora duwe durung karuan susah’. Meski demikian manusia harus bekerja: ‘urip kudu nyambut gawe’, dan mengetahui kedudukannya di dalam tatanan masyarakat.

Manusia Jawa percaya bahwa setiap orang memiliki tempatnya sendiri-sendiri: ‘pipi padha pipi, bokong padha bokong’. Kebijaksanaan kuno ini bahkan selaras dengan ilmu manajemen modern yang mengajarkan bahwa setiap individu harus memilih profesi yang cocok dengan karakternya. Setelah menemukan bidang profesi yang cocok, hendaknya kita fokus pada bidang tersebut, sebab jika kita tidak fokus akhirnya tak satupun pekerjaan yang terselesaikan: ‘Urip iku pindha wong njajan. Kabeh ora bisa dipangan. Miliha sing bisa kepangan.’

Telah ditetapkan bahwa dalam filsafat wayang, pergelaran wayang dianggap sebagai “simbol kehidupan” (wejangane ngaurip). Hidup sebagai prinsip pertama filsafat wayang dengan jelas disimbolkan dengan kayon (gunungan berdiri ditengah) sebelum pagelaran wayang dimulai dan sesudah lakon wayang selesai dipentaskan. Oleh karena itu, “hidup” dapa dikatakan sebagai prinsip pertama dalam ontologi wayang.

Dalam simbol tidak hanya berdimensi horizontal imanen, tetapi juga berdimensi transender vertikal. Simbol menantang untuk berfikir dan untuk berfikir dibutuhkan bahasa. Bahasa simbol hanya dapat ditangkap maknanya melalui interpretasi.

Kehidupan bersifat spiritual atau rohani yang pangkal pada pengalaman manusia yang menghayati sesuatu yang sedang berkembang dalam waktu. Dalam filsafat wayang, tampaknya cenderung pada pemikiran yang tercermin dalam kehidupan rohani yang menjadi dasar dan memberi isi budaya. Filsafat wayang tidak menanyakan apakah manusia itu. Namun, eksistensi manusia pertama tama diansumsikan sebagai “kenyataan hidup”. Dan dari kenyataan ini kemudian diajukan pertanyaan: dari mana asalnya? Kemana akhirnya? Disini kita melihat gerak dan keterlibatan manusia itu  sendiri. Dari sinilah kemudian dikenal konsep konsep yang sangat terkenal tentang sangkan paraning dumadi- sangkan paraning manungso.

Pandangna filsafat wayang antara lain dapat dirumuskan bahwa realitas yang sungguh sungguh nyata (kasunyatan) berada dalam kesatuannya dengan Yang-Mutlak. Entah itu tata alam raya ataupun manusia. Kesatuan itu masih sementara didunia (miyos) tetapi permanen diakhirat: jumbuning atau paroning atau manunggaling kawula-Gusti. Alam semesta merupakan pengejawantahan Tuhan. Manusia dan alam semesta merupakan satu kesatuan, kesatuan makrokosmos dan mikrokosmos (jagat gedhe-jagad cilik).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar