Jumat, 19 Desember 2014

Aji sangkan paraning dumadi Lakon Dewa RuncI



Tokoh Bima atau Werkudara dalam wayang dikenal sebagai kesatria yang mengenakan kampuh (sejenis pakaian): poleng bang bintalu yang memiliki empat macam warna yaitu merah, kuning, putih, dan hitam. Catur warna ini ditemukan Tugu Wasesa sesudah masuk kedalam tubuh Sang Dewata. Warna warna ini melambangkan nafsu yang sekaligus juga melambangkan empat unsur (anasir): api, tanah, udara, dan air.
Gejolak nafsu hitam yang berasal dari anasir tanah atau nafsu aluamah yang cenderung hanya mengejar makan dan tidur dapat diasumsikan seperti perilaku hewan. Jika nafsu aluamah tidak terkendali akan menutup rahsa, sehingga keseimbangan dunia terganggu. Orang seperti ini memiliki sifat “kurang deduga lawon prayoga.
Gejolak nafsu merah berasal dari anasir api atau nafsu amarah yang cenderung ingin menang sendiri, angkuh, meremehkan orang lain dan ketika kalah merasa tersinggung dan mudah marah. Orang seperti ini memiliki sifat adigang adigung adiguna disimbolkan perilaku kijang (adigang) yang mengandalkan kegesitan melompat, gajah (adigung) yang mengandalkan besar tubuhnya dam ular (adiguna) yang mengandalkan kemujaraban bisa racunnya.  Hanya sabarlah yang mampu menghancurkan nafsu amarah ini.
Gejolak nafsu kuning berasal dari anasir angin atau nafsu supiah yang cenderung mengagungkan kemewahan, bangga berhias dan nafsu ini termasuk besar terutama terkait dengan seks. Nafsu ini sering menggelincirkan orang kejurang kesengsaraan. Nafsu ini seakan tidak pernah pudar dan sebagi penghias hidup.  
Gejolak nafsu putih berasal dari anasir air atau nafsu mutmainah. Nafsu ini berwarna putih, menuju kearah kesucian hidup dan selalu berpusat pada Dzating Pangeran. Nafsu ini yang hendak menggiring manusia menuju kesentral kosmos yaitu roh ilahi sebagai penjelmaan Dzat Suci yang membimbing nafsu lain. 
Di dalam lakon Dewarunci dikisahkan bahwa Tuguwasesa berhasil bertemu Dewaruci karena telah berhasil melepaskan rintangan yang berupa nafsu nafsu dan yang melilit dirinya sendiri seperti seekor naga raksasa dengan senjatanya kuku panca kenaka.
 Susunan sifat manusia dan alam dikuasai oleh lima unsur asasi: empat yang padu dalam yang kelima (keblat papat kelimo pancer moncopat). pandangan filsafat wayang, kosmos diyakini memiliki empat kiblat (selatan, barat, utara, timur) dan satu sebagai pusat.
Masuknya Werkudara atau Tuguwasesa ke tubuh Dewa Ruci melambangkan warangka manjing curiga. Werkudara adalah lambang atau gambaran badan wadhag yang masuk ke badan alus (DewaRuci). Werkudara sebagai warangka mampu melakukan penghayatan ghaib masuk ke curiga (sukma), sehingga menemukan keadaan awang awung yaitu keadaan yang tidak jelas arahnya, yang ditemukan hanya ketentraman. Dalam penggambaran mistik Werkudara yang mampu menemukan kang sinembah (guru sejati) demikian sebagai refleksi kemanunggalan dengan Tuhan yang membutuhkan perjuangan spiritual.
Tuhan dalam pewayangan memiliki sebutan bermacam macam yang umumnya menggambarkan sifat-Nya, seperti Sang Hyang Taya, Sang Hyang Manon, Sang Hyang Wenang, Sang Hyang Tunggal. Tuhan juga tidak dapat dibayangkan seperti apapun: dzat kang tan keno kinoyongopo, cedhak tan senggolan, adoh tan wengenan.
Pada proses sangkan paran, ketika raga harus manjing ke suksma, mestinya dalam keadaan seperti saat terjadi saat terjadi wisikan ananing dzat (pleting dzat suci). Kepaduan kawula-Gusti dapat terjadi manakala hati manusia dalam keadaan suci. Upaya manusia untuk selalu manunggal dalam keadaan suci, jernih, bersih, ketika menuju sangkan paraning dumadi adalah cermin keafiran leluhur yang disebut budi luhur. Kemanunggalan adalah suasana batin yang hakiki yang sulit dijelaskan, tetapi yang paling esensi adalah mengarah pada pencapaian “titik nol” suwung tetapi berisi. Kondisi ini merupakan kebenaran mutlak[1].
Dalam penyebaran agama Islam, dakwah ini lebih menyadarkan kepada umat untuk senantiasa sadar bahwa siapa yang menciptakan kita semua, didunia ini untuk apa dan bagaimana setelah kehidupan setelah mati. Nilai tasawuf sangat melekat dan mencoba memberikan bimbingan agar tidak terjerumus gelamor dunia sehingga meninggalkan kehidupan yang kekal diakhirat nanti.



[1] Suwardi endraswara,agama jawa,hal 102

Tidak ada komentar:

Posting Komentar